Bayangkan seorang karyawan bernama Mira, yang selalu penuh semangat dalam bekerja. Namun, akhir-akhir ini, Mira merasa kelelahan dan kehilangan motivasi. Tugas-tugas yang dulu ia kerjakan dengan penuh antusias, kini hanya dilakukannya dengan setengah hati. Mira sedang mengalami “quiet quitting” — dia tetap bekerja, tetapi semangatnya memudar. Di sisi lain, manajernya meminta tambahan tanggung jawab tanpa kenaikan gaji atau pengakuan, menggambarkan contoh dari “quiet hiring” yang semakin sering dihadapi karyawan di tempat kerja.
“Quiet quitting” adalah fenomena di mana karyawan memutuskan untuk hanya melakukan tugas minimum di tempat kerja tanpa inisiatif atau usaha ekstra. Sementara itu, “quiet hiring” terjadi ketika perusahaan menambah beban kerja karyawan yang ada tanpa memberi kompensasi atau penghargaan yang setimpal.
Mengapa “quiet quitting” terjadi? Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakpuasan karyawan terhadap lingkungan kerja, beban kerja yang tidak seimbang, dan kurangnya apresiasi dari atasan. Ketika karyawan merasa bahwa upaya ekstra mereka tidak dihargai, mereka cenderung mundur secara emosional dan mental, hanya melakukan pekerjaan yang sekadar memenuhi syarat.
Kerugian Quiet Quitting Bagi Karyawan dan Perusahaan
Bagi karyawan seperti Mira, “quiet quitting” membawa risiko kelelahan mental dan hilangnya kepuasan kerja. Ketika karyawan tidak lagi merasa termotivasi, mereka kehilangan rasa tujuan dan makna dalam pekerjaan mereka. Ini dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan mental dan emosional.
Di sisi lain, perusahaan juga mengalami kerugian besar akibat “quiet quitting.” Performa tim menurun, produktivitas merosot, dan hubungan kerja yang dulunya solid menjadi renggang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan karyawan yang terlibat rendah memiliki peluang 37% lebih besar untuk mengalami penurunan produktivitas dan profitabilitas. “Quiet quitting” tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga merugikan organisasi secara keseluruhan.
Fenomena “quiet quitting” sering kali dipicu oleh kelelahan mental dan fisik akibat beban kerja yang berlebihan tanpa adanya penghargaan yang sepadan. Menurut survei dari Gallup, hanya sepertiga karyawan yang benar-benar terlibat dalam pekerjaannya. Ketidakpuasan ini adalah pemicu utama dari “quiet quitting.”
Di sisi lain, “quiet hiring” terjadi ketika perusahaan berusaha mengatasi kekurangan tenaga kerja dengan memanfaatkan karyawan yang ada. Karyawan seperti Mira sering kali merasa terbebani dengan tanggung jawab tambahan tanpa kompensasi atau penghargaan yang setimpal, yang akhirnya membuat mereka kehilangan motivasi dan terjebak dalam siklus “quiet quitting.”
Jadi apa yang sebaiknya Anda lakukan ?
- Kenali dan Jaga Batasan Pribadi:
Salah satu langkah penting adalah mengenali batasan diri sendiri. Jangan ragu untuk mengatakan “tidak” jika tugas tambahan mulai mengganggu keseimbangan hidup Anda. Menjaga batasan pribadi adalah kunci untuk menghindari kelelahan.
- Bicarakan dengan Atasan:
Jika Anda merasa beban kerja berlebihan atau tidak adil, penting untuk berbicara dengan atasan Anda. Diskusikan perasaan Anda secara terbuka dan tawarkan solusi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.
- Cari Dukungan dan Bina Relasi:
Membangun hubungan baik dengan rekan kerja dan mencari dukungan di tempat kerja dapat membantu Anda merasa lebih terhubung dan termotivasi. Kadang, berbicara dengan seseorang yang mengalami hal serupa bisa memberi Anda perspektif baru.
- Fokus pada Pengembangan Diri:
Meskipun kondisi kerja tidak ideal, tetaplah fokus pada pengembangan keterampilan dan karier Anda. Mengikuti pelatihan atau kursus online dapat memberikan Anda keahlian baru dan membuat Anda lebih berharga di pasar kerja.
- Lakukan “Me Time”:
Jika merasa terbebani, ambil waktu sejenak untuk diri sendiri. Ini bisa berupa cuti singkat atau sekadar meluangkan waktu setiap hari untuk melakukan aktivitas yang Anda nikmati. Keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi sangat penting untuk menjaga kesehatan mental.
Contoh nyata dari strategi ini bisa kita lihat dari pengalaman Budi, seorang karyawan yang merasa terjebak dalam “quiet hiring.” Dengan berbicara kepada manajernya dan membatasi beban kerja yang tidak masuk akal, Budi berhasil menemukan kembali keseimbangan dan semangat dalam bekerja.
Dengan menerapkan solusi-solusi ini, Anda dapat menjaga motivasi dan kesehatan mental Anda, bahkan dalam situasi kerja yang penuh tantangan. Menerapkan batasan pribadi dan fokus pada pengembangan diri bisa membantu Anda merasa lebih terkendali dan berdaya dalam pekerjaan Anda.
Untuk menghadapi “quiet quitting” dan “quiet hiring,” penting bagi Anda sebagai karyawan untuk mengenali batasan pribadi, berbicara secara terbuka dengan atasan, dan tetap fokus pada pengembangan diri.
Dengan strategi ini, Anda bisa menjaga motivasi dan keseimbangan dalam lingkungan kerja yang mungkin tidak selalu ideal
“Semangat kerja yang sejati datang dari rasa kepuasan dalam diri, bukan dari tekanan eksternal.” Mari kita bersama-sama menjaga keseimbangan hidup dan pekerjaan, sehingga kita bisa terus berkembang tanpa kehilangan diri kita sendiri.